Pengkhotbah

Kitab Pengkhotbah adalah refleksi filosofis yang menginterogasi makna hidup dan pencarian kebahagiaan. Tokoh utama, Pengkhotbah, menguji berbagai sumber kebahagiaan hikmat, kesenangan, pencapaian, dan kerja keras dan menemukan semuanya sia-sia. Tema utama adalah "kesia-siaan belaka," dengan penekanan pada realitas kematian dan kedaulatan Allah. Pengkhotbah menasihati untuk menikmati hidup sebagai karunia dan mengingat Pencipta, karena makna sejati ditemukan dalam hubungan dengan-Nya.

Nov 9, 2025

Rangkuman Kitab Pengkhotbah (Ecclesiastes)

notion image
Kitab ini adalah sebuah refleksi filosofis mendalam, yang dengan kejujuran radikal menginterogasi makna hidup, kefanaan (fana), dan pencarian kebahagiaan. Kitab ini terasa sangat modern karena berani mempertanyakan nilai dari segala usaha manusia, sebelum akhirnya tiba pada kesimpulan teologis yang kokoh.

BAGIAN 1: Wawasan Kunci Kitab Pengkhotbah

Berikut adalah poin-poin penting untuk memahami konteks dan isi kitab ini:
  • Tokoh Utama: Tokoh sentralnya adalah "Pengkhotbah" (Ibrani: Qoheleth, berarti "seseorang yang mengumpulkan" atau "berbicara dalam jemaat"). Ia memperkenalkan diri sebagai "anak Daud, raja di Yerusalem" (Pengkhotbah 1:1), yang secara tradisi kuat merujuk pada Raja Salomo. Persona Salomo sangat penting: sebagai manusia paling bijaksana sekaligus terkaya yang pernah hidup, ia adalah subjek uji coba yang sempurna. Jika seorang dengan hikmat, kekuasaan, dan kekayaan tak terbatas seperti Salomo saja tidak dapat menemukan makna hidup dalam hal-hal duniawi, maka tidak ada seorang pun yang bisa.
  • Waktu Penulisan: Jika merujuk pada Salomo, kitab ini merefleksikan peristiwa pada abad ke-10 SM. Namun, banyak ahli (termasuk dalam tradisi Katolik modern) melihat gaya bahasa Ibrani dan tema filosofisnya (yang mirip dengan pemikiran Yunani awal) lebih cocok dengan periode pasca-pembuangan (sekitar abad ke-5 hingga ke-3 SM). Dalam pandangan ini, seorang bijak dari masa kemudian menggunakan persona Salomo sebagai perangkat sastra untuk memberikan otoritas dan bobot universal pada perenungannya.
  • Tema Utama: Frasa kuncinya adalah "kesia-siaan belaka" (Ibrani: hevel). Kata hevel secara harfiah berarti "uap," "embusan napas," atau "asap"—sesuatu yang kasat mata namun tidak dapat digenggam, sementara, fana, dan seringkali penuh teka-teki atau absurd. Kitab ini mengeksplorasi kesia-siaan hidup "di bawah matahari" (frasa ini muncul 29 kali). Frasa ini mendefinisikan "laboratorium" Pengkhotbah: yaitu dunia yang murni manusiawi, yang terlihat, yang dijalani terpisah dari perspektif ilahi atau janji akhirat.
  • Inti Pencarian: Secara sistematis, Pengkhotbah menguji setiap jalan yang dianggap manusia sebagai sumber kebahagiaan dan makna:
    • Hikmat dan pengetahuan (1:12-18) — menghasilkan lebih banyak duka cita.
    • Kesenangan, kemewahan, dan pesta (2:1-3) — hampa dan sementara.
    • Pencapaian besar (membangun rumah, kebun) dan kekayaan (2:4-11) — tidak dapat memuaskan jiwa.
    • Kerja keras dan jerih payah (2:18-23) — hasilnya harus ditinggalkan untuk orang lain.
  • Kesimpulan Pencarian: Semua itu sia-sia, seperti "menjaring angin" (1:17). Ini adalah gambaran frustrasi tertinggi—sebuah upaya yang sangat melelahkan yang tidak menghasilkan apa-apa, sebuah pengejaran tanpa substansi yang konkret atau abadi.
  • Ayat Kunci:
    • Pengkhotbah 1:2: "Kesia-siaan belaka, kata Pengkhotbah, kesia-siaan belaka, segala sesuatu adalah sia-sia."
    • Pengkhotbah 3:1: "Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apapun di bawah langit ada waktunya."
    • Pengkhotbah 12:13 (TB): "Akhir kata dari segala yang didengar ialah: takutlah akan Allah dan berpeganglah pada perintah-perintah-Nya, karena ini adalah kewajiban setiap orang."
  • Hikmah (Pesan Moral):
      1. Realitas Kematian: Kematian adalah penyeimbang besar yang menyamakan semua orang—yang bijak dan yang bodoh, yang kaya dan yang miskin, bahkan manusia dan hewan. Pengkhotbah menggunakan fakta brutal ini untuk menghancurkan ilusi bahwa pencapaian, kekayaan, atau hikmat manusia dapat memberikan keabadian.
      1. Kedaulatan Allah: Allah menetapkan waktu untuk segala sesuatu (Pasal 3), dan manusia tidak dapat sepenuhnya memahami rencana kekal Allah. Hal ini menempatkan manusia dalam kerendahan hati, menerima bahwa ada ritme ilahi yang jauh lebih besar daripada agenda dan pemahaman pribadi.
      1. Nikmati Hidup Sebagai Karunia: Meskipun hidup itu fana (hevel), Pengkhotbah berulang kali menasihati pembaca untuk menikmati hal-hal sederhana—makan, minum, dan menikmati hasil jerih payah. Ini bukan seruan untuk hedonisme, melainkan sebuah teologi "saat ini": menghargai karunia-karunia sederhana di hadapan Allah sebagai bentuk ibadah dan penerimaan atas pemberian-Nya.
      1. Solusi Akhir: Makna hidup tidak ditemukan dalam ciptaan ("di bawah matahari"), tetapi di luar itu, yakni dalam relasi dengan Sang Pencipta. Segala sesuatu "di bawah matahari" menjadi bermakna hanya ketika dihubungkan dengan Dia yang berada "di atas matahari."

BAGIAN 2: Rangkuman Naratif Isi Kitab

Berikut adalah alur perenungan Sang Pengkhotbah, disajikan secara naratif:
Sang Pengkhotbah memulai perjalanannya dengan sebuah tesis yang mengejutkan dan radikal: "Kesia-siaan belaka! Segala sesuatu adalah sia-sia." Ia mengamati siklus alam yang tak berubah dan melelahkan—matahari terbit dan terbenam, angin bertiup ke selatan lalu berputar ke utara, sungai-sungai mengalir ke laut namun laut tak kunjung penuh. Ia merasakan kebosanan eksistensial dalam pengulangan yang tak berujung ini. Generasi datang dan pergi, dan tidak ada yang benar-benar baru di bawah matahari. Didorong oleh statusnya sebagai raja yang bijaksana di Yerusalem, ia memulai sebuah eksperimen besar dan otobiografis untuk menemukan makna hidup.
Pertama, ia mengejar hikmat dan pengetahuan sedalam-dalamnya, melampaui siapa pun sebelumnya. Namun, ia menemukan bahwa "makin banyak hikmat, makin banyak duka cita" (1:18), karena hikmat hanya menyingkapkan lebih banyak kesia-siaan, ketidakadilan, dan keterbatasan manusia. Ia lalu beralih ke ekstrem sebaliknya: ia menguji kesenangan, tawa, anggur, dan kemewahan. Ia membangun proyek-proyek monumental, mengumpulkan emas dan perak dalam jumlah tak terhitung, memiliki biduan-biduanita, selir-selir, dan segala yang diinginkan mata. Ia tidak menahan diri dari kesenangan apa pun. Namun, ketika ia menoleh ke belakang pada semua pencapaian itu, semua terasa hampa, "seperti menjaring angin," tanpa keuntungan sejati yang bertahan lama.
Perenungan ini membawanya pada sebuah puisi terkenal di Pasal 3: "Untuk segala sesuatu ada masanya." Ada waktu untuk lahir dan waktu untuk meninggal, waktu untuk menangis dan waktu untuk tertawa, waktu untuk perang dan waktu untuk damai. Ia menyadari bahwa Allah telah merancangkan segala sesuatu indah pada waktunya, tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan Allah dari awal sampai akhir. Manusia terperangkap dalam "waktu", sementara Allah mengendalikan "kekekalan". Frustrasi muncul karena manusia tidak bisa melihat gambaran besarnya. Ia juga melihat ketidakadilan yang merajalela—penindasan di mana yang tertindas tidak memiliki penghibur, dan kerja keras yang seringkali hanya didorong oleh rasa iri terhadap kesuksesan sesama.
Pengkhotbah mengamati bahwa cinta akan uang tidak akan pernah terpuaskan; siapa mencintai uang tidak akan kenyang dengan uang. Kekayaan bisa hilang dalam sekejap mata, dan pada akhirnya, manusia "keluar dari kandungan ibunya dengan telanjang, demikian juga ia akan kembali" (5:15). Ia tidak bisa membawa sepeser pun dari jerih payahnya. Oleh karena itu, mengejar kekayaan sebagai tujuan akhir adalah sebuah ironi yang tragis. Alih-alih terobsesi menimbun, ia menemukan bahwa satu-satunya hal baik yang sejati adalah menikmati makanan dan minuman serta bersukacita dalam pekerjaan sebagai karunia langsung dari tangan Allah.
Menjelang akhir, nada kitab ini bergeser dari observasi filosofis menjadi nasihat yang lebih langsung. Ia mengingatkan bahwa hidup itu singkat dan tak terduga. Kematian adalah takdir yang pasti bagi semua orang, baik orang benar maupun orang fasik, yang bijak maupun yang bodoh. Karena itu, ia menasihati agar kita tidak menunda-nunda untuk hidup dengan benar dan sukacita. Nasihat puncaknya ditujukan kepada kaum muda: "Ingatlah akan Penciptamu pada masa mudamu" (12:1), sebelum datang hari-hari tua yang digambarkan secara puitis sebagai masa di mana tubuh mulai rapuh dan cahaya kehidupan meredup (seperti metafora 'para penjaga rumah gemetar' dan 'penggiling-penggiling berhenti').
Akhirnya, Sang Pengkhotbah menutup seluruh perenungan filosofisnya. Setelah menguji segalanya di bawah matahari, ia sampai pada satu kesimpulan mutlak yang memberi makna pada segala kesia-siaan duniawi. Jika hidup 'di bawah matahari' itu sendiri adalah hevel (uap), maka makna ditemukan dengan mengarahkan hidup itu kepada Dia yang menetapkannya. "Akhir kata dari segala yang didengar ialah: takutlah akan Allah dan berpeganglah pada perintah-perintah-Nya, karena ini adalah kewajiban setiap orang." Inilah satu-satunya hal yang tidak sia-sia. Ini adalah jangkar realitas di tengah lautan kefanaan, karena Allah akan membawa setiap perbuatan ke pengadilan, baik yang tersembunyi maupun yang nyata.