Kitab Yunus mengisahkan tentang seorang nabi yang diutus Tuhan untuk memperingatkan kota Niniwe, yang terkenal brutal. Meskipun awalnya melarikan diri, Yunus akhirnya taat dan menyampaikan pesan pertobatan, yang direspons dengan serius oleh penduduk Niniwe, termasuk rajanya. Tema utama mencakup rahmat Tuhan yang universal, pentingnya ketaatan, dan kekuatan pertobatan. Cerita ini juga menyoroti kontras antara respons cepat orang kafir dan ketidaktaatan Yunus, serta mengajak pembaca untuk merenungkan kasih Tuhan yang melampaui batasan nasionalisme.
Rangkuman Kitab Yunus: Rahmat Tuhan yang Tak Terbatas
Bagian ini menyajikan rangkuman Kitab Yunus dalam dua bagian: (1) Fakta dan Wawasan Kunci, dan (2) Rangkuman Naratif Isi Kitab.
Bagian 1: Wawasan Kunci dan Fakta Penting
Berikut adalah poin-poin penting untuk memahami konteks dan inti sari Kitab Yunus:
Penulis dan Waktu: Secara tradisional, kitab ini diatribusikan kepada Yunus bin Amitai, seorang nabi yang hidup di Kerajaan Israel Utara pada abad ke-8 SM (sekitar masa pemerintahan Raja Yerobeam II, lihat 2 Raja-raja 14:25). Namun, banyak ahli berpendapat kitab ini ditulis jauh setelahnya (sekitar abad ke-5 hingga ke-3 SM) sebagai sebuah karya didaktik (pengajaran) yang berfokus pada pelajaran teologis, bukan sekadar catatan sejarah.
Konteks Sejarah: Yunus diutus ke Niniwe. Niniwe adalah ibu kota Asyur (Asiria), kerajaan yang terkenal sangat brutal dan merupakan musuh bebuyutan Israel. Perintah untuk bernubuat bagi mereka (bukan melawan mereka demi kehancuran) adalah sesuatu yang mengejutkan dan tidak diinginkan Yunus.
Genre: Kitab ini unik. Berbeda dari kitab nabi-nabi lain yang berisi kumpulan nubuat, Kitab Yunus sebagian besar adalah narasi (cerita) tentang seorang nabi yang enggan. Kitab ini lebih mirip perumpamaan yang mendalam.
Inti Cerita (Tema Utama):
Rahmat Allah yang Universal: Ini adalah tema sentral. Allah peduli dan mengasihi semua bangsa, bahkan musuh Israel yang paling dibenci (Niniwe). Rahmat-Nya tidak terbatas hanya untuk bangsa pilihan.
Ketaatan dan Pelarian: Menyoroti ketidakmungkinan lari dari panggilan Tuhan. Tuhan akan memakai cara-Nya untuk membawa kembali hamba-Nya ke jalan yang benar.
Pertobatan yang Sejati: Menunjukkan bahwa pertobatan (bahkan oleh bangsa "kafir") dapat mengubah hati Tuhan dan membatalkan hukuman yang telah dirancangkan (Yunus 3:10).
Kontras: Kitab ini penuh kontras: Bangsa kafir (awak kapal dan orang Niniwe) lebih cepat taat dan takut akan Tuhan daripada sang nabi sendiri.
Ayat Kunci (Veritas):
Yunus 3:10: "Ketika Allah melihat perbuatan mereka itu, yakni bagaimana mereka berbalik dari tingkah lakunya yang jahat, maka menyesallah Allah karena malapetaka yang telah dirancangkan-Nya terhadap mereka, dan Ia tidak jadi melakukannya." (Menunjukkan kekuatan pertobatan).
Yunus 4:11: "Bagaimana tidak Aku akan sayang kepada Niniwe, kota yang besar itu, yang berpenduduk lebih dari seratus dua puluh ribu orang, yang semuanya tidak tahu membedakan tangan kanan dari tangan kiri, dengan ternaknya yang banyak?" (Kesimpulan dan puncak teologi kitab ini).
Hikmah (Pelajaran Iman):
Kita dipanggil untuk mengasihi musuh kita, karena Allah juga mengasihi mereka.
Jangan pernah meremehkan kuasa pertobatan, baik bagi diri sendiri maupun orang lain.
Misi Tuhan seringkali membawa kita keluar dari zona nyaman kita, bahkan ke tempat yang kita benci.
Kita harus mewaspadai kemarahan yang "saleh" (seperti Yunus) yang sebenarnya timbul dari egoisme dan nasionalisme sempit, yang ingin membatasi rahmat Tuhan.
Bagian 2: Rangkuman Naratif Isi Kitab (Alur Cerita)
Kisah ini dimulai ketika Tuhan (Yahweh) memberi perintah langsung kepada Yunus bin Amitai. Perintah itu jelas: pergi ke kota Niniwe yang besar dan berserulah melawan kejahatan mereka yang telah sampai kepada Tuhan. Namun, Yunus bangkit untuk melarikan diri, jauh dari hadapan Tuhan. Ia pergi ke Yope, menemukan kapal yang hendak berlayar ke Tarsis—arah yang berlawanan dari Niniwe—membayar ongkosnya, dan naik ke kapal itu.
Saat mereka berlayar, Tuhan menurunkan badai dahsyat di laut. Kapal itu nyaris hancur. Para awak kapal yang ketakutan, yang berasal dari berbagai bangsa, berseru kepada dewa mereka masing-masing dan membuang muatan ke laut untuk meringankan kapal. Kapten kapal menemukan Yunus tertidur lelap di ruang paling bawah. Ia membangunkan Yunus, memintanya berdoa kepada Tuhannya agar mereka diselamatkan. Ketika badai tak kunjung reda, para awak kapal memutuskan membuang undi untuk mencari tahu siapa penyebab bencana ini. Undi itu jatuh kepada Yunus. Mereka memberondongnya dengan pertanyaan, dan Yunus mengaku bahwa ia adalah seorang Ibrani yang takut akan Tuhan, Pencipta langit dan laut, dan ia sedang melarikan diri dari-Nya. Mendengar ini, para awak kapal menjadi semakin takut. Yunus lalu berkata, "Angkatlah aku, campakkanlah aku ke dalam laut, maka laut akan reda." Para awak kapal awalnya menolak; mereka berusaha keras mendayung kembali ke darat tetapi tidak sanggup. Akhirnya, mereka berdoa kepada Tuhan, meminta agar tidak dituntut karena darah Yunus, lalu mengangkat Yunus dan mencampakkannya ke laut. Seketika, badai yang mengamuk itu pun reda. Para awak kapal menjadi sangat takut akan Tuhan; mereka mempersembahkan kurban dan mengikrarkan nazar. Atas penentuan Tuhan, seekor ikan besar datang dan menelan Yunus. Ia berada di dalam perut ikan itu selama tiga hari tiga malam.
Dari dalam perut ikan, Yunus berdoa kepada Tuhan. Doanya bukanlah doa pertobatan atas pembangkangannya, melainkan sebuah mazmur syukur karena diselamatkan dari tubir maut (dunia orang mati/Sheol) di dasar laut. Ia mengakui penyelamatan Tuhan dan berjanji akan membayar nazarnya. Setelah Yunus selesai berdoa, Tuhan memerintahkan ikan itu, dan ikan itu memuntahkan Yunus ke darat.
Firman Tuhan datang kepada Yunus untuk kedua kalinya: "Bangunlah, pergilah ke Niniwe... dan sampaikanlah seruan yang Kufirmankan kepadamu." Kali ini, Yunus taat. Ia pergi ke Niniwe, sebuah kota yang luar biasa besarnya (memerlukan tiga hari perjalanan untuk melintasinya). Yunus baru berjalan sehari ke dalam kota ketika ia mulai berseru, "Empat puluh hari lagi, maka Niniwe akan ditunggangbalikkan!" Ajaibnya, orang Niniwe langsung percaya pada seruan itu. Mereka mengumumkan puasa dan mengenakan kain kabung, dari orang besar sampai orang kecil. Ketika kabar itu sampai kepada Raja Niniwe, ia bangkit dari takhtanya, menanggalkan jubahnya, menyelubungi diri dengan kain kabung, dan duduk di atas abu. Raja mengeluarkan maklumat yang memerintahkan semua rakyat, bahkan ternak, untuk berpuasa, berselubung kain kabung, dan berseru dengan keras kepada Allah. Mereka semua harus berbalik dari tingkah laku mereka yang jahat dan dari kekerasan yang mereka lakukan, berharap agar Allah berbalik dan menyesal sehingga mereka tidak binasa. Ketika Allah melihat perbuatan mereka—bagaimana mereka sungguh-sungguh berbalik dari jalan mereka yang jahat—maka "menyesallah" (dalam arti 'berbalik' atau 'mengubah rencana') Allah atas malapetaka yang telah Ia rancang, dan Ia tidak jadi melakukannya.
Peristiwa ini, yang seharusnya menjadi sukacita, justru membuat Yunus sangat marah dan kesal hatinya. Ia berdoa kepada Tuhan, mengeluh bahwa inilah alasannya ia melarikan diri sejak awal. Ia tahu bahwa Tuhan itu pengasih dan penyayang, panjang sabar, dan berlimpah kasih setia, serta yang menyesal atas malapetaka. Yunus merasa nubuatnya gagal dan nama baiknya sebagai nabi hancur karena Niniwe tidak jadi dihukum. Dengan putus asa, ia meminta Tuhan mencabut nyawanya. Tuhan hanya bertanya, "Layakkah engkau marah?" Yunus kemudian keluar dari kota, pergi ke sebelah timur, dan membangun pondok. Ia duduk di sana menanti, mungkin masih berharap kota itu akan hancur. Untuk memberi pelajaran pada Yunus, Tuhan menumbuhkan sebatang pohon jarak (atau pohon ara) yang rindang untuk menaungi kepala Yunus, yang membuatnya sangat bersukacita. Namun keesokan harinya, Tuhan mengirim seekor ulat untuk menggerek pohon itu sehingga layu. Kemudian, Tuhan mendatangkan angin timur yang panas terik dan matahari yang menyengat kepala Yunus hingga ia nyaris pingsan dan kembali meminta mati. Tuhan pun berkata kepadanya, "Engkau sayang kepada pohon jarak itu, yang untuknya engkau tidak berjerih payah dan yang tidak engkau tumbuhkan...". Lalu, Tuhan menutup kitab ini dengan sebuah pertanyaan retoris yang menggantung, yang ditujukan langsung kepada Yunus (dan pembaca): "Bagaimana tidak Aku akan sayang kepada Niniwe, kota yang besar itu, yang berpenduduk lebih dari seratus dua puluh ribu orang, yang semuanya tidak tahu membedakan tangan kanan dari tangan kiri, dengan ternaknya yang banyak?"
Kitab 1 Tawarikh ditulis setelah kembalinya bangsa Israel dari pembuangan, berfungsi untuk meneguhkan identitas dan harapan mereka. Fokus utama adalah garis keturunan yang sah, penggambaran Daud sebagai raja ideal, dan pentingnya pembangunan Bait Suci. Silsilah yang panjang menegaskan identitas bangsa, sementara narasi tentang pemerintahan Daud menunjukkan persatuan dan ibadah yang benar sebagai dasar harapan bagi masa depan Israel.
Kitab 1 Samuel mencatat transisi dari kepemimpinan hakim ke monarki di Israel, berfokus pada tokoh-tokoh utama seperti Samuel, Saul, dan Daud. Samuel, sebagai nabi dan hakim terakhir, memimpin Israel melawan Filistin. Saul, raja pertama, ditolak Tuhan karena ketidaktaatan, sementara Daud, yang diurapi sebagai raja baru, menghadapi berbagai tantangan dan pengkhianatan sebelum Saul tewas dalam pertempuran, membuka jalan bagi Daud untuk naik takhta.
Kitab 1 Raja-Raja mencatat sejarah Israel dari pemerintahan Raja Daud hingga pelayanan Nabi Elia, menggambarkan kemegahan dan perpecahan kerajaan. Raja Salomo memimpin Israel ke puncak kejayaan dengan membangun Bait Suci, tetapi ketidaktaatannya menyebabkan kemarahan Tuhan dan perpecahan kerajaan setelah kematiannya. Kerajaan terpecah menjadi Israel dan Yehuda, dengan konflik dan kemerosotan rohani yang mendominasi. Nabi Elia muncul untuk menantang penyembahan Baal yang dipromosikan oleh Raja Ahab dan Izebel, culminating in a dramatic confrontation on Mount Carmel.